Gerhana
Matahari sudah muncul sejak zaman dahulu kala, tak terkecuali pada zaman Nabi
Muhammad SAW. Peristiwa itu tercatat sebagai hari monumental dalam sejarah
Islam.
Seperti
dikutip dari situs khazanah, peristiwa gerhana Matahari terjadi pada 27 Januari
632, hari itu bertepatan dengan meninggalnya putra Rasulullah, Ibrahim.
Peristiwa gerhana sontak dikaitkan dengan kematian tersebut.
Kaum
Muslimin menganggap peristiwa itu suatu mukjizat. Mereka menganggap gerhana
matahari terjadi karena kematian Ibrahim. Hal ini terdengar oleh Nabi.
Kemudian
beliau menemui kaum Muslimin dan menegaskan terjadinya gerhana matahari bukan
karena kematian Ibrahim.
Abu
Bakrah berkata, "Kami berada di sisi Rasulullah lalu terjadi gerhana
matahari. Maka, Nabi berdiri dengan mengenakan selendang beliau (dalam satu
riwayat: pakaian beliau sambil tergesa-gesa 7/34) hingga beliau masuk ke dalam
masjid, (dan orang-orang pun bersegera ke sana 2/31), lalu kami masuk. Kemudian
beliau shalat dua rakaat bersama kami hingga matahari menjadi jelas. Beliau
menghadap kami, lalu bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, dan sesungguhnya keduanya (2/31) bukan gerhana
karena meninggalnya seseorang. Akan tetapi, Allah ta'ala menakut-nakuti
hamba-hamba-Nya dengannya. Oleh karena itu, apabila kamu melihatnya, maka
shalatlah dan berdoalah sehingga terbuka apa (gerhana) yang terjadi
padamu.'" (Hal itu karena putra Nabi saw. yang bernama Ibrahim meninggal
dunia, kemudian terjadi gerhana. Lalu, orang-orang berkomentar bahwa gerhana
itu terjadi karena kematian Ibrahim itu. Hal ini lantas disanggah Rasulullah
dengan sabda beliau itu.)
Abu
Mas'ud berkata, "Nabi bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan bulan tidak
gerhana karena meninggal (dan hidupnya 4/76) seseorang. Tetapi, keduanya adalah
dua dari tanda-tanda dari kebesaran Allah. Apabila kamu melihatnya, maka
berdirilah untuk mengerjakan shalat gerhana.'"
Ibnu
Umar mengatakan bahwa ia memberi kabar dari Rasulullah, bahwa matahari dan
bulan tidak gerhana karena meninggal dan hidupnya seseorang. Tetapi, keduanya
adalah tanda-tanda kekuasan Allah. Apabila kamu melihatnya, maka shalat gerhanalah.
Al-Mughirah
bin Syubah berkata, "Terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah pada
hari meninggalnya Ibrahim. Orang mengatakan, 'Matahari gerhana karena
meninggalnya Ibrahim.' Lalu Rasulullah bersabda, 'Sesungguhnya matahari dan
bulan (adalah dua dari tanda tanda kebesaran Allah 2/30). Keduanya tidak
gerhana karena meninggal atau hidupnya seseorang. Apabila kamu melihatnya, maka
shalatlah (gerhana) dan berdoalah kepada Allah sehingga ia menjadi cerah
kembali.'"
Rasulullah
menjelaskan bahwa peristiwa gerhana matahari dan Bulan bukan pertanda buruk,
melainkan fenomena kosmik yang menunjukkan kebesaran Allah.
Setiap
muslim melakukan salat lima waktu setiap hari, namun selama fenomena gerhana,
umat muslim dapat melakukan salat sunah khusus gerhana. Ini dilakukan untuk
mengingat Allah Sang Maha Pencipta.
Sungguh
suatu kebesaran jiwa yang tiada taranya. Rasulullah SAW tidak melupakan
risalahnya dalam suatu situasi yang demikian gawat dan kondisi jiwa yang
dilanda keharuan dan kesedihan nan amat dalam atas kehilangan putra
tercintanya.
Tuntutan Islam tentang gerhana
Direktur
Urais dan Binsyar Kemenag RI, Dr. H. Muchtar Ali, M. Hum seperti dikutip dari
bimaislam.kemenag.go.id menjelaskan bahwa Matahari dan Bulan merupakan dua
makhluk Allah SWT yang sangat akrab dalam pandangan.
Peredaran
dan silih bergantinya yang sangat teratur merupakan ketetapan aturan Penguasa
Jagad Semesta ini.
Allah
SWT berfirman (yang artinya):
”Matahari dan bulan (beredar) menurut perhitungan.”
(Ar-Rahman : 5)
Maka
semua yang menakjubkan dan luar biasa pada matahari dan bulan menunjukkan akan
keagungan dan kebesaran serta kesempurnaan Penciptanya. Oleh karena itu, Allah
SWT membantah fenomena penyembahan terhadap matahari dan bulan.
Allah
SWT berfirman:
”Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah kaliann sujud (menyembah) matahari
maupun bulan, tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika memang
kalian beribadah hanya kepada-Nya.”(Fushshilat: 37)
Muchtar
Ali memaparkan, gerhana bulan maupun gerhana matahari adalah salah satu dari
tanda-tanda kebesaran Allah Taala. Keduanya terjadi bukan karena kematian atau
kelahiran seseorang, tetapi semata bagian dari sunnah kauniyah yang merupakan
ayat-ayat Allah Taala dalam alam semesta. Shalat gerhana hukumnya sunnah
muakkadah. Shalat gerhana disunnahkan dilakukan secara berjamaah dan setelah
shalat disunnahkan khutbah. Oleh karena itu bagi umat Islam yang mengetahui dan
menyaksikan gerhana, baik matahari maupun bulan maka hendaknya melakukan shalat
gerhana sesuai tuntunan Rasulullah SAW.
"Gerhana
matahari (Khusufusy Syams) adalah hilangnya cahaya matahari sebagian atau total
pada waktu siang. Adapun gerhana bulan (Khusuful Qamar) adalah hilangnya cahaya
bulan sebagian atau total pada waktu malam," jelasnya.
Muchtar
menutuf beberapa hadits yang menerangkan tetang gerhana, Rasulullah Saw.
Bersabda, yang artinya:
"Dari Al-Mughirah bin Syu’bah ra, berkata
”Terjadi gerhana matahari di masa Rasulullah saw. saat kematian Ibrahim”.
Rasulullah saw. bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah tanda-tanda
kebesaran Allah, keduanya terjadi gerhana bukan karena kematian seseorang dan
tidak karena kelahiran seseorang. Ketika kalian melihatnya, maka berdoalah pada
Allah dan shalatlah sampai selesai.”(Muttafaqun ‘alaihi)
“Dari ‘Aisyah ra, istri Nabi saw. berkata,
“Terjadi gerhana matahari dalam kehidupan Rasulullah saw. Beliau keluar menuju
masjid, berdiri dan bertakbir. Sahabat di belakangnya membuat shaff. Rasulullah
saw. membaca Al-Qur’an dengan bacaan yang panjang, kemudian takbir, selanjutnya
ruku dengan ruku yang panjang, kemudian mengangkat kepalanya dan berkata,
“Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu”. Setelah itu membaca dengan
bacaan yang panjang, lebih pendek dari bacaan pertama. Kemudian takbir,
selanjutnya ruku lagi dengan ruku yang panjang, tetapi lebih pendek dari ruku’
pertama. Kemudian berkata,”Sami’allahu liman hamidah rabbana walakal hamdu.”
Selanjutnya sujud. Dan seterusnya melakukan seperti pada rakaat pertama,
sehingga sempurnalah melakukan shalat dengan empat ruku dan empat sujud. Dan
matahari bercahaya kembali sebelum mereka meninggalkan tempat. Seterusnya Rasul
saw bangkit berkhutbah di hadapan manusia, beliau memuji pada Allah sebagaimana
nikmat yang telah diberikan pada ahlinya. Rasul saw. bersabda, ”Sesungguhnya
matahari dan bulan merupakan bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Kedua
gerhana itu tidak terjadi karena kematian atau kehidupan seseorang. Jika kalian
melihatnya bersegeralah untuk shalat.”(HR Bukhari dan Muslim)
Baginda
Nabi Saw. mengajarkan kepada kita tuntunan syariat yang mulia ketika terjadigerhana matahari maupun gerhana
bulan, antara lain yaitu:
(1)
Menghadirkan rasa takut kepada Allah saat terjadinya gerhana bulan dan
matahari. Baik karena peristiwa tersebut mengingatkan kita akan tanda-tanda
kejadian hari kiamat, atau karena takut azab Allah diturunkan akibat dosa-dosa
yang dilakukan.
(2)
Mengingat apa yang pernah disaksikan Nabi saw dalam shalat Kusuf. Diriwayatkan
bahwa dalam shalat kusuf, Rasulullah saw diperlihatkan oleh Allah surga dan
neraka. Bahkan beliau ingin mengambil setangkai dahan dari surga untuk
diperlihatkan kepada mereka. Beliau juga diperlihatkan berbagai bentuk azab
yang ditimpakan kepada ahli neraka. Karena itu, dalam salah satu khutbahnya
selesai shalat gerhana, beliau bersabda:
"Wahai
umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya
kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis." (Muttafa alaih)
(3)
Menyeru dengan panggilan "Asshalaatu Jaami'ah". Maksudnya adalah
panggilan untuk melakukan shalat secara berjamaah. Aisyah meriwayatkan bahwa
saat terjadi gerhana, Rasulullah saw memerintahkan untuk menyerukan
"Ashshalaatu Jaami'ah" (HR. Abu Daud dan Nasa'i).
(4)
Tidak ada azan dan iqamah bagi shalat gerhana. Karena azan dan iqamah hanya
berlaku pada shalat fardhu yang lima.
(5)
Disunahkan mengeraskan bacaan surat, baik shalatnya dilakukan pada siang atau
malam hari. Hal tersebut dilakukan Rasulullah saw dalam shalat gerhana
(Muttafaq alaih).
(6)
Shalat gerhana sunah dilakukan di masjid secara berjamaah. Rasulullah saw
selalu melaksanakannya di masjid sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat.
Akan tetapi boleh juga dilakukan seorang diri. (Lihat: Al-Mughni, Ibnu Qudamah,
3/323)
(7)
Wanita boleh ikut shalat berjamaah di belakang barisan laki-laki. Diriwayatkan
bahwa Aisyah dan Asma ikut shalat gerhana bersama Rasulullah saw. (HR.
Bukhari).
(8)
Disunahkan memanjangkan bacaan surat. Diriwayatkan bahwa Rasulullah saw dalam
shalat gerhana memanjangkan bacaannya. (Muttafaq alaih). Namun hendaknya tetap
mempertimbangkan kemampuan dan kondisi jamaah.
(9)
Disunahkan menyampaikan khutbah setelah selesai shalat, berdasarkan perbuatan
Nabi saw bahwa beliau setelah selesai shalat naik ke mimbar dan menyampaikan
khutbah (HR. Nasa'i). Sejumlah ulama menguatkan bahwa khutbah yang disampaikan
hanya sekali saja, tidak dua kali seperti shalat Jumat. Sebagian ulama
menganggap tidak ada sunah khutbah selesai shalat. Akan tetapi petunjuk hadits
lebih menguatkan disunahkannya khutbah setelah shalat gerhana.
(10)
Dianjurkan memperbanyak istighfar, berzikir dan berdoa, bertakbir, memedekakan
budak, shalat serta berlindung kepada Allah dari azab neraka dan azab
kubur.
Tatacara Shalat Gerhana
(1)
Berniat di dalam hati;
(2)
Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa;
(3)
Membaca do’a iftitah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan
membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan
(dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:
“Nabi Saw. menjaharkan (mengeraskan) bacaannya ketika shalat gerhana.”(HR.
Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)
(4)
Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya;
(5)
Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ‘SAMI’ALLAHU LIMAN
HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD‘;
(6)
Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca
surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat
dari yang pertama;
(7)
Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’
sebelumnya;
(8)
Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal);
(9)
Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua
sujud kemudian sujud kembali;
(10)
Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at
pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya;
(11)
Salam;
(12)
Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran
untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar